} Rumah di Atas Bukit - Rumah Kurcaci Pos

Rumah di Atas Bukit

Dimuat di Majalah Bobo edisi 47, 21 September 2016


RUMAH DI ATAS BUKIT
Oleh: Yulina Trihaningsih

            Semalam, hujan deras kembali mengguyur tubuhku. Aku tahu, kulitku akan semakin mengelupas diterpa angin kencang. Jamur-jamur kecil seperti titik-titik hitam akan bertambah subur di kulitku yang lembab dan kusam.
Sudah lama tidak ada manusia yang mau tinggal bersamaku. Mungkin, karena penampilanku yang kotor, kusam, dan bau.
“Tapi, aku senang bermain-main di sini bersamamu,” seru Geji si burung gereja yang sedang berjemur di terasku. Sinar matahari yang hangat membuatnya senang berlenggang lenggok menjemur bulu-bulunya yang basah.
Aku tersenyum. “Terima kasih sudah mau menjadi temanku, Geji. Tapi, sebentar lagi kau pun akan terbang mencari makan, dan aku akan kembali kesepian.”
Geji menatapku prihatin. “Kau rumah tua yang malang. Aku harap, akan ada yang menempatimu. Kau tahu? Sebuah keluarga sudah mengisi rumah baru bertingkat di ujung jalan. Kemarin sore mereka berpesta! Ada banyak cahaya lampu, balon, dan remah-remah kue. Aku akan ke sana setelah selesai berjemur.”
Tanpa menunggu lama, Geji langsung terbang, meninggalkan kotorannya di lantai terasku. Ya ampun, aku pasti akan semakin kotor dan bau.
Tapi, sesuatu terjadi di siang itu. Sebuah mobil kecil berhenti di depan pagarku. Gadis kecil dengan dua kuncir di kepalanya melongok ke luar jendela. Matanya yang bulat indah terlihat bersinar. Dan ia tersenyum padaku!
“Apakah kita akan tinggal di sini, Ayah?” suara anak itu terdengar bersemangat.
“Benar, Zara sayang,” seorang pria berkacamata turun dari pintu depan.
Dia membantu seorang wanita cantik turun dari mobil. “Apa kau suka rumah baru kita, Nyonya Arman?” pria itu bercanda.
“Tentu saja, Tuan Arman,” balas wanita itu sambil tertawa.
Sementara, Zara, gadis kecil itu, sudah berlari ke luar mobil terlebih dahulu. Ia meloncat-loncat di halaman dan menatapku ingin tahu.
“Apakah kita tidak akan kebanjiran lagi di sini, Ayah? Rumah ini sepertinya sudah tua,” Zara mengerutkan keningnya, seperti berpikir.
Tuan Arman tertawa. “Semoga, Sayang. Rumah ini ada di atas bukit. Saat malam, kau bisa melihat kota yang penuh cahaya dari jendela kamarmu.”
“Terlihat tua, mungkin karena tidak ada yang merawat dan menyayanginya, Zara,” Nyonya Arman berkata sambil tersenyum.
“Oh, aku akan menyayangi rumah ini, Bu,” Zara berkata pasti, membuatku senang mendengarnya.
*
            Beberapa hari berikutnya, adalah saat-saat yang membahagiakan untukku. Aku tidak lagi sendirian dan kesepian, karena banyak teman yang mengunjungiku. Bukan Geji, tentu saja. Burung gereja itu justru tidak berani lagi mendekat sejak keramaian mulai terlihat di sini.
            Tuan Arman mengajak beberapa temannya untuk membersihkan kulitku yang kotor. Dan, hei, mereka juga memberi warna baru di kulitku. Tidak itu saja. Tuan Arman juga mengganti pelapis kayu tubuhku yang mengelupas. Atapku yang pecah atau bergeser juga diperbaiki.
            Sementara itu, Nyonya Arman dan Zara membersihkan halamanku yang ditumbuhi rumput yang tinggi. Nyonya Arman juga menanam bunga-bunga yang cantik untuk menemani pohon mangga tua di sudut halaman. 
Oh, aku harap, gadis kecil itu dan orangtuanya akan betah tinggal di sini. Siapa tahu, seperti rumah baru bertingkat di ujung jalan, Zara juga akan mengundang teman-temannya dan membuat pesta! Wah, mereka pasti akan bergembira dan bersenang-senang di sini.
“Jadi, kapan kita akan mulai tidur di rumah ini, Bu?” tanya Zara tidak sabar.
Nyonya Arman tersenyum. “Besok, Zara, kita akan pindah dan tinggal di sini.”
Gadis kecil itu lalu melompat ke pelukan ibunya dengan gembira.
*
            Sudah sebulan Zara tinggal, dan aku selalu bahagia melihat dan mendengar tawanya. Tapi, siang ini, Zara pulang sekolah sambil menangis. Oh, apa yang terjadi denganmu, Zara?
            “Tidak ada teman-temanku yang mau datang ke rumah kita, Bu. Mereka takut. Kata Sheila, yang tinggal di rumah tingkat di ujung jalan, rumah ini dulu berhantu.”
            Nyonya Arman tersenyum. “Kenapa Sheila bilang begitu?”
            “Karena rumah ini dulu jelek, tua, dan kotor.”
            “Oh, tapi, sekarang tidak lagi, kan?” kata Nyonya Arman sambil tertawa.
Zara menatapku lama. “Tentu saja tidak. Sekarang, rumah ini, kan, cantik dan bersih.”
“Mungkin, kamu bisa memikirkan sebuah cara untuk memberitahukan hal itu kepada mereka,” kata Nyonya Arman sambil tersenyum penuh arti.
Zara terus menatap dinding-dindingku. Lalu, tiba-tiba, ia tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. “Aku ada ide!” serunya.
*
            Sabtu ini, Zara pulang sekolah tidak sendiri. Ia datang bersama teman-temannya. Mereka terlihat bergembira di bawah pohon mangga yang rindang. Tuan Arman sudah menggelar tikar lebar di sana.
“Wah, Zara, taman bacamu keren sekali,” kata seorang anak perempuan berkacamata sambil asyik membaca buku.
            “Rumahmu juga cantik, Zara. Persis seperti di foto-foto yang kamu bawa ke sekolah, kemarin,” timpal seorang anak perempuan lain dengan jepit di rambutnya.
            Zara tersenyum ke arahku. “Terima kasih, teman-teman. Aku memang senang sekali tinggal di rumah ini.”
            Aku bisa merasakan perasaan sayang yang diberikan gadis itu untukku. Dan kuharap, ia pun bisa merasakan hal yang sama dariku. [*]

             

Subscribe to receive free email updates: