“Ibu, Tari pulang!” seru Tari.
“Oh, kamu sudah pulang, cepat ganti baju lalu segera
makan siang,” jawab Ibu tanpa menoleh pada Tari.
Tari membuka tudung saji. Benar
dugaan Tari. Hari ini lauknya sop dan chicken
nugget. Kemarin telur dadar dan sayur bayam. Kemarinnya lagi sop dan sosis.
Sejak Ibu kebanjiran pesanan kue, masakan Ibu jadi itu-itu saja. Padahal dulu,
menu makan siang Tari selalu beragam.
Ada ayam bakar madu, sup bola-bola daging, gulai ikan, pokoknya menunya
selalu ganti-ganti.
Dulu, Ibu juga sering bermain
bersamanya. Sekarang Ibu lebih sering berada di dapur. Ah, Tari kangen dengan
Ibu yang dulu.
“Tari, kamu siap-siap, ya. Nanti
setelah semua kue Ibu matang kita akan ke toko buku,” ucap Ibu pada Tari.
“Wah, benar, Bu?” tanya Tari setengah
tak percaya.
Ibu mengangguk.
Ah, akhirnya Tari bisa jalan-jalan
berdua Ibu seperti yang sering mereka lakukan dulu. Tari pun cepat-cepat
menghabiskan makan siangnya.
Sesampainya di toko buku, anak itu
segera menuju rak buku cerita anak-anak.
“Nak, kamu tunggu di sini, ya. Ibu
mau ke supermarket sebelah untuk berbelanja bahan-bahan kue. Kamu pilih saja
buku-buku yang mau dibeli.” Ibu mengelus kepala Tari sebelum keluar dari toko buku.
“Jadi sebenarnya Ibu mau berbelanja
bahan-bahan kue, bukan mengajakku jalan-jalan,” gumam Tari.
**
“Wah,
itu, kan, novel anak terbaru!” pekik Siska sambil menunjuk buku yang dipegang
Tari.
Tari
hanya mengangguk.
“Enak,
ya, jadi kamu. Sejak Ibumu berjualan kue, koleksi bukumu tambah banyak.
Sepatumu juga. Kalau aku harus menabung dulu,” cerocos Siska.
Memang
benar, kini Tari tidak perlu menunggu sepatunya sempit untuk membeli yang baru.
Ia juga bisa membeli lima buah buku sekaligus.
Awalnya Ibu tidak sengaja berjualan
kue. Waktu itu Ayah kecelakaan, yang
membuatnya tidak bisa berjalan sementara waktu. Saat itu Tari tidak merasa kesepian
seperti sekarang, karena ada Ayah di rumah. Tapi saat kaki Ayah pulih dan Ayah
kembali bekerja, saat itulah Tari mulai merasa kesepian.
“Harusnya Ibu berhenti berjualan kue,
kan, Ayah sudah kembali bekerja,” tanpa sadar dirinyi bergumam.
“Eh, apa, Tar?” tanya Siska. “Kamu
nggak suka Ibumu berjualan kue?”
“Iya, Sis. Habisnya semenjak sibuk,
Ibu jadi jarang meluangkan waktu untukku,” keluh Tari.
“Tapi ibumu, kan , membuat kuenya di
rumah. Kamu bisa meluangkan waktu bersama sambil membantu membuat kue. Aku
malah iri sama kamu. Kue buatan Ibumu enak, sih,” seloroh Siska panjang lebar.
Membuat kue bersama? Tak pernah
terpikir dalam benaknya. Mungkin karena iamenganggap kue-kue itu telah merebut perhatian
Ibu darinya.
**
Selalu suara mixer yang menyambut
Tari sepulang sekolah, bukan lagi suara Ibu. Baiklah, aku juga bisa sibuk,
pikir Tari.
Tari masuk ke dalam rumah tanpa
menyapa Ibu seperti biasa. Kemudian berganti pakaian, makan siang lalu masuk ke
kamar. Gadis itu mulai membaca buku, tapi sebenarnya pikirannya tidak tenang.
Ibu saja tidak sadar kalua aku sudah
pulang, batin Tari kesal.
Tahu-tahu, pintu kamarnya terbuka.
“Ya, ampun! Ternyata kamu sudah
pulang? Kenapa tidak menyapa Ibu?” pekik Ibu.
“Ibu, kan, sibuk membuat kue? Tiap
kali Tari sapa, Ibu tidak pernah menengok. Sejak Ibu sibuk, Ibu tidak pernah
masak makanan kesukaan Tari, tidak pernah menemani memilih buku, dan tidak
pernah lagi bermain bersama.” Tanpa sadar Tari menumpahkan kekesalannya.
Ibu terkejut dan hanya diam lalu
keluar dari kamar.
Saat makan malam, Ayah dibuat bingung
melihat Ibu dan Tari yang diam saja. Sebenarnya Tari ingin meminta maaf karena
sudah bersikap kasar pada Ibu, tapi ia juga masih kesal.
Malam sebelum tidur Ibu dating ke kamar Tari dengan membawa selembar
kertas HVS dan spidol warna merah.
“Ibu minta maaf , ya, karena kurang
memperhatikan Tari. Ibu kira dengan membelikan barang-barang kesukaanmu, kamu
sudah senang.” Ibu diam sebentar. “Tapi Ibu juga tidak bisa berhenti berjualan
kue, karena ini sebenarnya ini adalah cita-cita Ibu sejak remaja.”
Eh, Tari baru tahu. “Maafin Tari
juga, Bu, karena sudah berbicara kasar. Sebenarnya hanya kangen Ibu.”
Ibu memeluk anak perempuannya itu. “Nah,
bagaimana kalau kita menyusun jadwal bersama. Jadi, Ibu bisa tahu kemauanmu dan
kamu juga bisa memahami kegiatan Ibu. Boleh, lho, membantu Ibu membuat kue.
Selain Tari bisa belajar, kita juga bisa mengobrol.”
Tari mengangguk senang. Lega. Akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama Ibu. Ia juga berjanji akan mendukung cita-cita Ibu menjadi pembuat kue terkenal.
Penulis : Vina Anne
0 Response to "Cerpen Anak : Perebut Hati Ibu"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke Rumah Kurcaci Pos. Tidak diperkenankan menggunakan konten di blog ini, tanpa seizin Kurcaci Pos. Terima kasih.