} Hujan Bunga Helikopter - Rumah Kurcaci Pos

Hujan Bunga Helikopter

                                     
Dimuat di Majalah Bobo
                              Hujan Bunga Helikopter
                                                     Oleh Dwi Rahmawati*
           
            Murid Sekolah Dasar Batuah terlihat antusias mendapati sebuah bis pariwisata parkir di halaman sekolah. Hari itu anak-anak kelas 5 akan berkunjungan ke Kebun Raya Samarinda. Seorang murid bertubuh besar terlihat sibuk keluar masuk bis sambil membawa buku absensi.
            “Tuh, lihat temanmu!  Sok sibuk banget,” Ical mengamit lengan Aji sambil menunjuk ke arah Nowo.
            Aji yang sibuk mengecek isi ransel menebarkan pandangan mengikuti jari Ical. Kemudian tersenyum, “Jangan begitu, dia kan, temanmu juga. Hehehe...”
            Ical yang kesal mencoba menepuk pundak Aji, namun dengan cekatan bocah bertubuh kurus itu menangkisnya. Bel sekolah berbunyi, seluruh murid masuk kelas kecuali anak-anak kelas 5 yang langsung berbaris di halaman.
            Kemudian Ibu Wien, guru mata pelajaran IPA, berdiri di hadapan 30 anak kelas 5. Beliau yang merancang kegiatan ini, sejak sebulan lalu.
“Ibu ingin kalian menikmati perjalanan ini, dan mencatat hal penting yang kalian dengar,  lihat, dan rasakan. Di sana nanti ibu akan menjelaskan cara tumbuhan hijau membuat makanan.”
 “Ayo, anak-anak, saatnya kita mulai perjalanan ini,” Ibu Wien memberi aba-aba. Nowo memanggil nama teman-temannya, satu per satu mereka masuk ke bis.
Bis melaju menyusuri jalan lengang menuju Kebun Raya Samarinda yang berjarak sekitar satu kilometer. Di kiri kanan jalan masih terlihat rumah-rumah penduduk yang rapat dan terbuat dari kayu. Terlihan tanah lapang yang ditumbuhi semak, tidak dimanfaatkan untuk bertani.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai. Nowo membantu Ibu Wien menyiapkan teman-temannya. Seorang petugas kebun raya terlihat gagah dengan seragamnya ikut mendampingi perjalanan mereka. Lelaki paruh baya itu disapa Pak Seno.
Rombongan mulai menyusuri jalan berbukit, sesekali mereka berhenti untuk mendengar penjelasan Bu Wien. Aji menyalinnya menjadi mind mapping dalam buku sakunya. Ical memicingkan mata mencoba mengintip, ia mendapati tulisan fotosintesis, matahari, klorifil, air, dan karbondioksida yang dihubungkan dengan anak panah.
Ibu Wien melanjutkan perjalanan ke lokasi lain. Murid-murid menikmati pemandangan hutan, hal langka yang tak lagi ditemukan di kota. Hijaunya pepohonan berpadu dengan langit biru bersih tanpa awan terlihat begitu indah di siang yang mulai terik. Semilir angin menyejukkan seakan menyeka keringat dan menghapus rasa lelah.
Giliran Pak Seno memimpin rombongan, mereka berjalan menuruni bukit. Di sini pohon-pohong yang tumbuh berukuran besar dan tinggi menjulang seakan hendak menggenggam langit.
“Anak-anak, ini adalah miniatur hutan hujan tropis yang masih tersisa. Hirup udara ini dalam-dalam, tahan sebentar kemudian hembuskan. Lakukan sekali lagi!”
Semua mempraktikkan intruksi Pak Seno. Oksigen segar, terasa sejuk seperti berada di ruangan berpendingan.
“Sekarang perhatikan pohon itu!” Pak Seno menujuk sebuah pohon, di bagian bawah ada papan bertuliskan ‘Meranti Shorea macrophylla’.
Tiba-tiba sesuatu jatuh dari tajuk pohon, terbang berputar-putar sampai ke tanah. Makin lama makin banyak.
“Hujan... lihatlah! Sepeti hujan saja. Tapi bukan air yang jatuh,” Nina menunjuk biji-biji yang berterbangan ke tanah.
“Ya, inilah hujan bunga helikopter. Kalian beruntung bisa menyaksikannya,” Pak Seno bersemangat memungut sekuntum bunga yang jatuh.
Semua murid berlari memunguti bunga helikopter. Nowo, Ical, dan Aji berlari ke arah yang sama. Karena kurang cepat, Ical tidak kebagian bunga yang jatuh. Nowo menyerahkan bunga yang didapatnya kepada Ical. Nowo baik sekali, ternyata aku salah menilainya sesal Ical dalam hati.
 “Tidak seperti helikopter, Pak,” Ical mengacungkan bunga meranti.
“Memang tidak mirip. Cara sayap-sayap melindungi biji hingga tetap utuh saat mendarat seperti baling-baling helikopterlah yang membuatnya dijuluki bunga helikopter,” jelas Pak Seno.
“Satu-satunya bunga yang bisa terbang dan mendarat. Lihat, bijinya bersayap! Dua... tiga... empat... lima,” Aji mulai menghitung.
“Bunganya lebih mirip shuttlecock mini, Sela Nowo sambit tersenyum diikuti anggukan Pak Seno.
“Pohon meranti banyak tumbuh di dalam hutan Kalimantan, penduduk memanfaatkan kayunya untuk membangun rumah. Termasuk rumah saya, juga terbuat dari kayu meranti,” Pak Seno tersenyum.
Setelah beristirahat menikmati bekal di bawah naungan payung raksasa pohon meranti setinggi 60 meter, rombongan kembali ke bis dan pulan ke sekolah. Semua murid tampak senang dengan perjalanan mereka.
Demikian pula dengan Ical, ia terlihat akrab berbagi cerita dengan Nowo. Aji tersenyum melihat keduanya. Ia berencana akan melanjutkan petualangan di hutan bersama sahabatnya, Ical dan Nowo. []



Subscribe to receive free email updates: