Si Penjual Bunga Gunung
Oleh
Fransisca Emilia
“Bunganya, Mbak.” Tejo menyodorkan kardus berisi
bunga warna-warni kepada seorang pengunjung. Perempuan itu hanya tersenyum dan
menggeleng. Lalu masuk bunker bersama rombongannya.
Tejo mengusap peluh yang bercucuran. Bunganya belum
ada yang laku. Ia lalu duduk di tepi jalan masuk bunker. Bunga-bunga kering
dalam vas batang pakis ditatanya di atas pasir.
“Bunga apa ini, Dik?” Seorang lelaki muda berjongkok
di depannya.
“Bunga gunung, Om. Hanya ada di Gunung Merapi lho! Tumbuhnya
di tebing-tebing yang curam. Bunga ini juga tidak akan rontok atau layu selama
bertahun-tahun. Cocok sekali untuk oleh-oleh.” Tejo menjelaskan penuh semangat.
Lelaki muda itu tertawa. “Kamu pintar sekali
menawarkan. Berapa harganya?”
“Murah, Om! Hanya sepuluh ribu dengan vasnya.”
“Ayo!” seorang bapak menepuk pundak lelaki itu.
Mereka lalu bergegas masuk bunker.
“Yah..., nggak jadi beli,” gumam Tejo kecewa.
Dulu bunker itu dibangun sebagai tempat perlindungan
dari awan panas Merapi. Awan panas yang dikenal sebagai wedhus gembel itu bergerak sangat cepat dan mematikan. Dengan
adanya bunker, warga tidak perlu mengungsi jauh-jauh. Namun, pada tahun 2006
dinding lava Merapi runtuh. Akibatnya, lava dengan suhu lebih dari seribu
derajat celcius mengalir ke kampung Tejo. Dua orang relawan yang membantu penduduk
tak sempat menghindar. Mereka terjebak dan meninggal dalam bunker. Sekarang
bunker itu menjadi tempat wisata.
Beberapa pengunjung melewati Tejo. Ada pula yang
memotretnya. Namun, tak satupun yang membeli.
“Jo...cepat pulang! Dipanggil simbahmu!” Seorang
anak laki-laki sebaya Tejo berlari terengah-engah.
Tejo bergegas pulang. Bunga dagangannya ditinggalkan
begitu saja. Simbah sedang sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan simbah.
“Kenapa, Mbah?” tanya Tejo cemas. Sudah dua hari
simbah tinggal di rumah karena tidak enak badan. Biasanya simbah berjualan
jadah tempe dan minuman. Tejo membantunya sambil berjualan bunga.
“Tolong ambilkan air. Simbah mau masak. Air di
gentong habis.”
Tejo tersenyum lega. “Iya, Mbah.” Ia mengambil ember
dan menimba di sumur. Lalu Tejo membantu simbah memasak.
“Laku banyak bunganya?” tanya simbah.
“Sepi, Mbah. Belum satu pun terjual.”
Simbah mengusap kepalanya. “Yang sabar, ya!
Mudah-mudahan besok simbah sudah bisa berjualan lagi.”
Setelah makan siang, Tejo kembali ke bunker. Sudah
sepi. Tidak ada pengunjung lagi. Tejo mengemasi bunga-bunganya ke dalam kardus.
Ia hendak beranjak pergi ketika melihat sesuatu berkilau.
Tejo mendekati benda itu. Sebuah telepon genggam
tergeletak di pasir. Ia menimang-nimang benda itu. Sudah lama ia ingin punya
telepon genggam. Dengan begitu ia bisa menelepon simbok yang bekerja di
Jakarta. Dan simbok tidak perlu menelepon Pakdhe Gimo kalo ingin bicara
dengannya.
Tapi ini bukan
milikku. Pasti ada pengunjung yang kehilangan, pikir
Tejo. Ia memutuskan untuk mencari pemiliknya. Ia pun berjalan menuju
warung-warung di dekat tempat parkir.
“Pakde, ada orang yang kehilangan hape tidak?” Tejo menunjukkan telepon
genggam yang ditemukannya.
“Nggak ada
yang nyari, Jo,” jawab Pakdhe Gimo.
Jawaban serupa ia peroleh dari warung-warung lain.
“Kamu simpan saja! Nanti kalau ada yang cari baru kamu kembalikan,” saran
Paklik Marwah.
Tejo menuju tempat parkir. Serombongan pengunjung
sedang menaiki bus hendak pergi. Tejo memanggil seorang pemuda yang masih ada
di luar. “Mas, ada yang kehilangan hape
tidak?”
“Sebentar, ya. Saya tanyakan yang lain.” Pemuda itu
masuk ke bus dan tak lama keluar lagi. “Nggak
ada yang kehilangan, Dik. Mungkin milik pengunjung lain.”
Tejo melihat ke sekeliling tempat parkir. “Nggak ada
orang lagi, Mas.”
“Emm..., coba saya lihat. Mungkin ada data
pemiliknya.”
Tejo menyerahkan telepon genggam. Pemuda itu
melihat-lihat isinya. Mereka berdua duduk di salah satu bangku.
“Ini dia! Ada nomor lain yang bisa dihubungi bila
hape ini ditemukan.” Laki-laki itu menelepon sebuah nomor. Ia lalu
mengembalikan telepon genggam pada Tejo. “Pemiliknya bernama Ferdi. Sebentar
lagi ia ke sini. Saya pergi dulu ya. Bus sudah mau berangkat.”
“Terima kasih, Mas!”
Tak lama kemudian sebuah mobil masuk tempat parkir.
Seorang laki-laki keluar dari mobil menemui Tejo. “Kamu yang berjualan bunga
kering di depan bunker, kan? Terima kasih, ya. Hape ini sangat berharga buat
saya. Seluruh catatan pekerjaan saya ada di sini.”
Ternyata Om Ferdi adalah lelaki yang tak jadi
membeli bunga. Ia seorang wartawan. Ia mengeluarkan dua lembar ratusan ribu
dari dompetnya. “Ini untukmu.”
Tejo tersenyum. Ia menolak dengan halus. ”Tidak
perlu, Om. Saya hanya mengembalikan yang bukan milik saya.”
“Begini saja. Saya sedang meliput daerah ini dan
memerlukan pemandu. Bagaimana kalau kamu menunjukkan tempat-tempat menarik di
sini? Termasuk tempat kamu memetik bunga-bunga yang kamu jual. Uang ini sebagai
bayarannya.”
Mata Tejo berbinar. “Baiklah! Saya tahu semua daerah
sini.” Tejo sangat senang.
Hari ini dagangannya tidak laku. Tapi Tejo
memperoleh uang dari pekerjaan lain. Tidak lupa Tejo bersyukur pada Tuhan.