Dimuat di Majalah Bobo |
Ulah Si Cepi
Cepi si kelinci terkenal
iseng. Para tetangga Cepi di hutan Foresty sering menjadi korban keisengannya.
Mama pun sering harus meminta maaf kepada tetangga karena keisengan Cepi.
Meskipun begitu, Cepi juga banyak
akal dan suka membantu. Itu sebabnya Mama tidak marah dan hanya menasihati Cepi
kalau ia usil. Mama tahu, Cepi belajar sesuatu dari keisengannya.
Beberapa hari yang lalu Cepi
membantu Mama memperbaiki pemanggang roti. Mama sangat heran, Cepi belajar dari
mana cara memperbaiki pemanggang roti. Mungkin dari Paman Deri, adik Mama. Mama
pun berterima kasih dan memuji Cepi.
Hari ini, Cepi bosan sekali
bermain. Sahabatnya, Toti si landak sedang sibuk membantu ayahnya membuat rumah
baru.
“Main kemana ya,” Cepi
mondar-mandir di halaman samping rumahnya.
“Ah, aku mau lihat laboratorium
Paman Deri saja.” Cepi melangkah riang menuju rumah pamannya itu.
Rumah Paman Deri sepi,
tetapi pintu laboratorium di samping rumahnya tidak terkunci. Mungkin Paman
Deri sedang mengambil sesuatu di kebun belakang.
Cepi pun masuk dan
berkeliling dalam laboratorium. Ada cairan berwarna-warni di dalam
tabung-tabung kecil, tersusun rapi di rak kayu. Tapi tidak, Cepi tidak akan
menyentuh cairan itu. Ia masih ingat sebulan yang lalu ia menumpahkan cairan
berwarna cokelat mengenai kakinya. Tiba-tiba ibu jarinya membesar hingga
kakinya sulit bergerak.
Ternyata cairan itu adalah
ramuan untuk membesarkan tanaman di gurun pasir. Paman Geri yang memesannya.
Untungnya Paman Deri segera membasuh ibu jari Cepi dengan cairan berwarna ungu.
Ibu jari Cepi kembali ke bentuk semula. Paman Deri memang hebat. Tapi sejak itu
Cepi tidak mau menyentuh cairan buatannya.
“Sekarang Paman Deri sedang
bikin apa lagi ya?” Cepi terus berkeliling.
Tiba-tiba ia melihat kotak
kaca berisi ulat-ulat kecil berwarna-warni. Ada yang hitam bercampur kuning,
hijau bercampur merah bergaris-garis, ada juga yang hitam putih dan berbulu.
“Wah, bagus sekali ulat-ulat
ini!” seru Cepi. Keisengannya timbul. “Kupinjam saja ulat-ulat ini, buat teman
bermain selama Toti sibuk.”
Ulat-ulat kecil yang lucu
itu dimasukkannya ke dalam plastik.“Besok-besok akan kukembalikan,” katanya
sambil melangkah keluar.
Sampai di rumah, Cepi
menyimpan ulat-ulat itu dalam kotak bambu kecil. Diletakkannya kotak itu di
cabang pohon tempat ia biasa bermain dengan Toti. Kalau ditaruh di kamar nanti
ketahuan Mama lagi, pikirnya. Ia terus terkagum-kagum melihat ulat-ulat yang
menggeliat lucu.
“Cepi, makan dulu!” teriak
Mama dari dalam rumah.
“Iya Ma, sebentar!” jawab
Cepi segera. Kalau tidak segera menjawab, bisa-bisa Mama keluar dan melihat apa
yang sedang dilakukannya. Cepi pun turun untuk makan.
“Kamu main kemana saja? Kok
Toti tidak main kesini?” tanya Mama.
“Toti sibuk, Ma. Cepi main
ke laboratorium Paman Deri,” jawab Cepi.
“Laboratorium Paman Deri?
Tapi kamu tidak bermain dengan cairan ramuannya kan?” selidik Mama.
“Enggak Ma, Cepi kan sudah
kapok,” elak Cepi.
“Ingat ya, kalau meminjam
sesuatu, harus dikembalikan.” Mama seperti tahu isi hati Cepi.
“Ya Ma,” Cepi menyahut
pendek.
Beberapa hari kemudian, Cepi
berniat mengembalikan ulat-ulat Paman Deri. Sepulang sekolah ia mengajak Toti
untuk melihat ulat-ulat itu sebelum dikembalikan. Toti pasti mengagumi warnanya
yang indah. Tetapi alangkah terkejutnya Cepi melihat ulat-ulat itu sudah tidak
ada di kotak bambu.
“Astaga, jangan-jangan
ketahuan Mama lagi,” Cepi mulai khawatir. Ia meminta Toti membantunya mencari
di sekitar pohon. Tetapi tidak ketemu.
“Kamu akui saja pada Paman
Deri kalau kamu mengambil ulatnya. Kamu juga harus minta maaf,” kata Toti.
“Iya. Aku memang mau minta
maaf. Tetapi ulatnya kan tetap harus ketemu. Kalau tidak, nanti aku kena marah
Mama. Kata Mama kalau meminjam sesuatu harus dikembalikan,” kata Cepi.
“Kita ke rumah Paman Deri
saja dulu, nanti kita cari lagi,” usul Toti. Cepi menurut. Sampai di rumah
Paman Deri ia menceritakan semuanya.
“Maafkan Cepi, Paman!” kata
Cepi.
“Hmmm.. Kamu yakin ulatnya
hilang?” Paman Deri tidak marah.
“Iya Paman, padahal kotak
bambu cuma berlubang-lubang kecil. Ulatnya tidak mungkin keluar lewat lubang
itu, badannya kan lebih besar,” kata Cepi.
“Coba kamu bawa kotaknya
kesini, biar Paman lihat.”
Cepi dan Toti bergegas
membawa kotak bambu itu kepada Paman Deri. Sesaat kemudian Paman Deri tertawa.
“Cepi, ulatnya tidak hilang,
tapi jadi kepompong. Tuh, kamu lihat kepompongnya menempel di dinding kotak
bambu. Kepompong itu nanti akan berubah jadi kupu-kupu,” Paman Deri
menjelaskan. Cepi melongo.
“Kamu lihat kotak kaca
Paman, sekarang tidak ada lagi ulatnya. Ada yang sudah jadi kepompong dan ada
dua yang sudah berubah jadi kupu-kupu. Lihat, indah kan? Paman sedang meneliti warna
sayap kupu-kupu, apakah sama dengan warna ulatnya.” Paman menunjuk kotak
kacanya yang beberapa hari yang lalu berisi ulat.
“Oh, begitu ya, Paman?” Cepi
dan Toti baru tahu bahwa ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu.
*****