} Sekolah Kampung - Rumah Kurcaci Pos

Sekolah Kampung

Dimuat di Majalah Bobo

Sekolah Kampung
oleh : Novia Erwida
Pagi ini, Ibu memaksaku mandi. Padahal ini hari pertama liburan di sekolahku. Ibu mau mengajakku ke tempatnya mengajar.
“Kia di rumah saja, Bu.” Tolakku. Lebih baik aku main games daripada mengikuti Ibu main ke sekolah kampung.
“Ayolah, kamu tak akan menyesal.” Bujuk Ibu.
Aku mandi dengan malas. Ayah sudah berangkat kerja, dan Kak Nana pergi bersama teman-temannya. Ibu tak mengizinkanku sendirian di rumah. Mau tak mau aku harus ikut Ibu.
Aku memakai jaket dan duduk di motor Ibu. Ibu memintaku membawa kamera.
“Huh, mau memotret siapa di sana? Pasti tak ada objek yang menarik.” Ujarku.
Motor melaju kencang. Aku memegang pinggang Ibu erat. Sekitar 20 menit ke depan, aku harus siap jadi penumpang yang baik. Lima menit di jalan raya, Ibu membelokkan kendaraan ke gang kecil. Menuju kaki Gunung Singgalang.
Aku menggerutu dalam hati. Motor Ibu melonjak-lonjak. Tak ada aspal di sini. Aku harus berpegangan lebih erat lagi kalau tak mau jatuh. Ah, menyesal aku ikut Ibu. Aku menyesal ikut Ibu. Jalan berbatu begini sangat tidak enak.
Motor terus berjalan. Kali ini, sedikit mendaki dan berbelok. Ibu sangat lihai membawa motor. Namun aku ngeri melihat banyak pohon bambu di kiri dan kananku. Bagaimana kalau tiba-tiba ada angin dan menjatuhkan bambu itu ke kepalaku? Aku mengencangkan helm-ku.
Ibu masih membawa motor. Sekarang di sisi kiriku banyak batang jagung, dan di sisi kanan sawah hijau. Aku jadi ingat ladang jagung Kakek. Pasti enak kalau jagung itu dibakar.
Aku dikelilingi sawah dan ladang. Tak ada rumah. Hanya pondok. Ih, Ibu mengajakku ke hutan. Aku mengomel dalam hati. Kalau saja aku di rumah, pasti aku sudah bisa menyelesaikan games kemarin.
“Itu puskesmasnya.” Seru Ibu.
Aku melihat bangunan putih kecil di sisi kananku dengan papan nama “POSKESRI”. Oo.. jadi ini rumah sakit penduduk sini? Kecil sekali. Apa fasilitasnya lengkap?
“Murid ibu lahirnya di sana, lho.” Kata Ibu.
Aku tertegun. Hebat sekali penduduk di sini. Sepertinya mereka tak butuh rumah sakit.
Ibu membelokkan motor ke sebuah gerbang SD Negeri. “Kita sampai.” Kata Ibu.
Murid-murid menyambut Ibu dengan senang. Mereka berebutan menyalami Ibu. Ih, benar dugaanku. Banyak yang berbaju kotor, sepatunya berlumpur dan bau. Aku menutup hidung tak suka.
Ibu mengajakku ke kantor guru. Ada banyak teman Ibu, mereka ramah. Aku diizinkan membaca di perpustakaan sementara Ibu membagikan rapor.
Perpustakaannya sangat sederhana. Jauh berbeda dengan sekolahku. Tak banyak buku baru.
Aku heran kenapa Ibu betah dengan fasilitas seadanya begini.
Cukup lama aku membaca. Lalu aku melihat murid-murid sudah menerima rapor. Mereka kembali menyalami Ibu. Kulihat sepatu murid Ibu. Lumpur yang melekat pasti karena basah di perjalanan. Apa kakinya tidak kedinginan ya? Aku melihat sepatuku yang bersih. Aku beruntung tak harus berjalan jauh ke sekolah seperti mereka.
Ibu bilang, muridnya kuat-kuat. Akses jalan menuju desa hanya memakai ojek. Ojek itu mahal. Jadi anak-anak di sana sudah biasa berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju sekolah selama satu jam.
Seorang anak perempuan menghampiriku. Dia menyalamiku. “Aku Rani. Namamu Kia kan? Ibumu wali kelasku.” Katanya ramah.
Saat bersalaman dengan Rani, tak sengaja aku melihat ke bawah. Astaga, sepatu Rani penuh lumpur kering. Mataku tak sengaja mendelik kaget.
“Kenapa? Kaget ya. Aku sekolah melewati pematang sawah. Jadi sepatuku begini.” Katanya sambil tertawa geli. Aku mulai tersenyum. Sepertinya Rani baik. Dia mau menemaniku di perpustakaan. Kamipun menjadi akrab.
Tak lama, Ibu datang. “Ayo Kia, kita pulang.” Ajak Ibu. Aku melonjak senang. Saatnya pulang.
Kami melewati jalan yang berbeda. Di sini lebih terang, sisi kanan memang masih rimbun dengan pepohonan, tapi sisi kiri membuatku takjub. Ngarai Sianok terlihat jelas dari ketinggian. Seperti membelah kota Bukittinggi dengan warna tanahnya yang cokelat di dua sisi ngarai dan rimbun pepohonan di atasnya.
Juga terlihat Jam Gadang menjulang tinggi. Bangunan warisan Belanda itu berdiri gagah di antara perumahan kota. Belum ada bangunan kota yang menutupi Jam Gadang setinggi 26 meter. Di kaki gunung, tampak sawah berwarna kuning dan hijau, luas sekali.
Ibu menghentikan motor. “Ayo potret.” Kata Ibu. Ibu bergaya dengan latar pemandangan kota Bukittinggi di belakangnya. Senyumku mulai terkembang. Kenapa baru sekarang aku mau diajak Ibu ke tempat seindah ini.
Aku dan Ibu asyik berfoto. Beberapa penduduk memandang lucu dengan sikap norakku.
“Kenapa tidak dari tadi kita lewat sini, Bu?” tanyaku.
“Jalan yang tadi lebih dekat ke sekolah.” Jawab Ibu.
“Tapi seperti masuk hutan.” Keluhku.
Ibu tertawa. Lalu memotretku.
Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan. Ibu tetap hati-hati, karena banyak jurang dan berkelok-kelok.
“Bu, kenapa sih betah mengajar di tempat seperti itu?” tanyaku.
“Kalau semua guru menolak mengajar di kampung, anak-anak kampung nggak pintar-pintar dong?” jawab Ibu.
Ah, tiba-tiba aku semakin kagum pada Ibu. Pantas saja Ibu sering terlihat lelah setiap pulang mengajar.
Kupeluk Ibu dari belakang. “Ibu adalah malaikat.” Bisikku.

Subscribe to receive free email updates: