} Putri Fidelya - Rumah Kurcaci Pos

Putri Fidelya

Dimuat di Majalah Bobo


PUTRI FIDELYA
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Putri Fidelya tinggal di kerajaan Vivero yang subur dan makmur. Raja Bastian, ayah Fidelya adalah seorang raja yang sangat adil, bijaksana dan dicintai seluruh rakyatnya.
Namun, Fidelya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ia tidak seperti putri-putri raja dalam dongeng yang sering ia dengar. Paling cantik dan paling segalanya.
Fidelya tampak biasa saja. Wajahnya tidak secantik Melissa, putri perdana menteri. Rambutnya cokelat dan lurus, tidak seindah rambut Clara, putri kepala koki kerajaan, yang pirang bergelombang. Kulitnya pun tidak secerah dan sehalus Rania, putri panglima perang.
Belum lagi kalau melihat kemampuannya di sekolah istana Vivero. Di kelas membaca dan menulis, Fidelya tidak sepintar George, putra kepala pengawal kerajaan. Lalu di kelas berkebun, Edward adalah yang paling ahli, sebab ia memang putra dari menteri pertanian. Di kelas memasak, tentu saja Clara jagonya.
Fidelya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya sebagai putri pewaris tahta kerajaan. Hari ini ia sangat gelisah. Sebab lusa, istana Vivero akan kedatangan tamu dari kerajaan Genovia. Fidelya takut kerajaan lain akan mengetahui kalau putri kerajaan Vivero sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Pagi ini Fidelya ingin mengunjungi Bibi Vivian di kastil Malora. Sekolah diliburkan karena seluruh istana akan mulai bersiap menyambut kedatangan tamu dari kerajaan Genovia.
Bibi Vivian adalah kakak tertua dari ibu Fidelya. Ia tidak mempunyai anak, tapi mengasuh banyak anak yatim piatu di rumahnya. Kastil Malora adalah hadiah dari Raja Bastian karena kemuliaan hati Bibi Vivian. Setiap kali Fidelya jenuh atau sedih, Bibi Vivianlah yang selalu menghiburnya.
Dengan diantar beberapa pengawal, sampailah Fidelya di kastil Malora.
“Fidelya, kau datang, Sayang?” Suara lembut itu milik Bibi Vivian.
“Ya,Bibi. Hari ini sekolah libur.”
“Oh. Coba lihat dirimu. Mana senyummu? Kau tampak sangat gelisah,” Bibi Vivian membelai kedua pipi Fidelya.
“Ya, Bi. Aku memang sedang gelisah.”
Fidelya menceritakan semua kegelisahannya pada Bibi Vivian.
Bibi Vivian tersenyum.
“Oh, begitu. Jangan bersedih. Sekarang pergilah berkeliling. Biasanya kau akan ceria kembali setelah melihat-lihat taman bunga dan memetik buah-buahan segar,” hibur Bibi Vivian.
Bibi Vivian memanggil beberapa anak untuk menemani Fidelya.
Mereka berkeliling taman bunga yang sangat indah. Setelah itu, mereka menikmati buah-buahan segar di kebun. Semuanya adalah hasil kerja keras Bibi Vivian dan anak-anak asuhannya.  Fidelya sangat senang. Ia mulai bisa tersenyum.
“Nah, begitu. Kalau tersenyum, kau semakin cantik,” puji Bibi Vivian pada Fidelya.
“Ah, Bibi jangan berlebihan. Aku tidak secantik Melissa dan Clara.”
“Oh ya, sebelum kau pulang, kita bermain drama dulu ya, Sayang?”
“Drama apa,Bi?”
“Kau sebagai ratunya. Anak-anak lain sebagai rakyatmu. Ayolah, pasti kau senang,” Bibi Vivian menggandeng tangan Fidelya ke tengah taman. Di sana para anak asuhan Bibi Vivian sudah berkumpul.
“Yang Mulia Ratu Fidelya, terimalah salam hormat kami,” kata mereka serempak sambil berbaris rapi. Bibi Vivian mempersilakan Fidelya duduk di singgasana tiruan.
“Ehm..ehm.. Duduklah kalian semua,” Fidelya masih tersenyum-senyum. Ia berusaha menirukan ayahnya.
“Yang Mulia, kami ada masalah serius. Mohon bantu kami”
“Kami juga, Yang Mulia.”
“Begitu juga kami, Yang Mulia.”
Beberapa anak maju. Sepertinya mereka sudah berbagi peran ketika Fidelya berkeliling di kebun.
“Baiklah, ceritakan kepadaku permasalahan kalian!” jawab Fidelya.
“Kami dari kota Gloria. Di sana tidak ada sekolah. Kami tidak mau warga kami bodoh. Mohon kirimkanlah guru membaca dan menulis untuk kami!” kata anak yang pertama.
“Oh.. eh.. ehm.” Fidelya berpikir sejenak. “Baiklah, aku akan mengirimkan George ke kota Gloria. Ia akan mengajari kalian”
“Terima kasih atas kebijaksanaan Yang Mulia”
“Lalu apa permasalahanmu?” tanya Fidelya kepada anakyang kedua.
“Kami dari desa Botani, Yang Mulia. Hasil panen kami tahun ini sangat sedikit. Ada hama yang sangat ganas. Kami tidak mempunyai ahli pertanian. Mohon kirimkan seseorang untuk membantu kami.”
“Oh, tenanglah. Aku punya ahli pertanian. Edward namanya. Akan kukirimkan ia ke desa Botani,” jawab Fidelya.
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Sidang tiruan itu terus berlanjut. Anak-anak yang sudah berbagi peran bergantian menyampaikan permasalahannya. Senyum Fidelya semakin mengembang. Ia mengerti sekarang, mengapa Bibi Vivian mengajaknya bermain drama. Kini ia belajar mengatasi permasalahan rakyat dengan memanfaatkan kemampuan teman-temannya di sekolah istana.
“Terima kasih, Bi. Sekarang aku sudah tidak sedih lagi.” Fidelya memeluk Bibi Vivian.
“Begitulah seharusnya, Sayang. Saat kau menjadi ratu, kau memerlukan banyak orang pandai untuk kemakmuran negerimu. Kau tidak harus menjadi yang paling baik dalam segala hal. Jangan pernah berpikir tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirimu. Kau sangat pintar dan bijaksana,” kata Bibi Vivian lembut.
Fidelya mengangguk dan tersenyum.
“Saatnya aku pulang, Bi. Terima kasih semuanya.”
Bibi Vivian memandang kepergian Fidelya dengan senyum bahagia. Kelak, kerajaan Vivero akan memiliki seorang ratu yang adil dan bijaksana.


Subscribe to receive free email updates: