} Putu dan Made - Rumah Kurcaci Pos

Putu dan Made

Toktoktok…
Made dan Putu sudah mulai bekerja, walau hari masih pagi. Mereka memahat sebuah kayu mahoni. Kakak adik itu adalah pembuat patung kayu. Mereka bisa membuat berbagai macam bentuk patung. Bakat itu mereka dapatkan dari Pak Arya, Ayah mereka yang juga pematung terkenal.

Dimuat di sisipan 12 cerita majalah Bobo


Hari itu tanpa sengaja, Pak Sasongko lewat di depan rumah Putu dan Made. Pak Sasongko adalah pengusaha hotel di Bandung yang sedang berlibur di Bali. Pak Sasongko sangat tertarik melihat patung-patung yang dipajang di depan rumah Putu dan Made.

“Saya ingin memesan patung kalian,” kata Pak Sasongko.

“Berapa banyak patung yang ingin Bapak pesan?” tanya Putu ramah.

“Kalian buat saja patung sebanyak yang kalian bisa. Saya pasti akan membeli karya kalian, bila hasilnya bagus dan indah,” jawab Pak Sasongko.

Putu dan Made mengangguk bersamaan. Mereka senang sekali mendapat pesanan membuat patung.
Besoknya, Putu dan Made mulai bekerja membuat patung pesanan Pak Sasongko. Putu membuat patung dengan ketelitian dan hati-hati. Makanya patung yang dihasilkan Putu hanya sedikit.

Sebaliknya, Made bekerja dengan terburu-buru dan tidak kenal waktu. Terkadang Made lupa waktu makan dan haus kerja sampai larut malam. Ia ingin bisa mendapatkan uang yang banyak.

Putu lalu mengambil satu buah patung Made. Putu meneliti patung itu. Ehm, patung Made tidak bagus. Pahatannya banyak yang tidak sempurna, gumam Putu.

“Made, kamu harus mengukur kemampuanmu. Jangan mengejar meteri, padahal hasilnya tidak bagus.”

“Saya sanggup, Bli! Bli saja yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya,” jawab Made.

Putu menggeleng. Ia tidak setuju dengan ucapan adiknya. “Membuat patung itu harus dengan cita rasa seni yang tinggi. Itu akan membuat patung kita mahal harganya,”

“Aah, Bli Cuma iri padaku. Karena aku bisa membuat patung yang lebih banyak,”jawab Made dengan nada ketus.

Putu memutuskan untuk istirahat, karena hari sudah sore, sedangkan Made terus bekerja membuat patung. Ia ingin membuat patung sebanyak-banyaknya.  Tapi tiba-tiba kepala Made pusing, ia jatuh dan tidak sadarkan diri.

Saat membuka mata, Made sudah terbaring di kamarnya. Made tampak lemas. Ia selalu mual, lalu muntah.

Seminggu berlalu. Putu hanya membuat sepuluh patung, sedangkan Made 40 patung.  Made pun masih terbaring sakit. Namun, Made sudah membayangkan hasil yang akan dia dapat.

Pak Sasongko sangat mengagumi patung karya Putu. “Luar biasa. Sungguh karya yang sangat bagus. Saya pesan patung lagi, ya!”

“Baik, Pak!” jawab Putu gembira.

Pak Sasongko lalu meneliti patung buatan Made. “Aduh, kenapa hasilnya tidak sebagus Putu,” keluh Pak Sasongko. “Saya tidak mau membeli patung Made. Saya hanya membeli patung Putu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh karya seni.”

“Tapi, Pak! Saya sudah bekerja keras membuat patung-patung ini. Saya sampai jatuh ssakit, Pak” protes Made.

Pak Sasongko malah tersenyum. “Kamu lupa dengan ucapan saya, Made! Waktu itu saya bilang, Kalian buat saja patung sebanyak yang kalian bisa. Saya pasti akan membeli karya kalian, bila hasilnya bagus dan indah,” tukas Pak Sasongko.

Pak Sasongko memberi uang pada Putu dalam jumlah yang banyak. Sedangkan Made tidak mendapat apa-apa. Made sedih sekali. Kerjanya selama ini jadi sia-sia. Made menunduk ia menyesal sekali. Seharusnya ia menuruti nasehat kakaknya.

“Maafkan saya, Bli!” ucap Made setelah Pak Sasongko pulang.

“Sudah tidak usah sedih lagi. Nih, Bli kasih separuh uang Bli. Nanti kamu bantu Bli membuat pesanan patung Pak Sasongko, ya!” Putu menepuk pundak adiknya.

“Terima kasih, Bli!” Made langsung memeluk kakaknya itu. Ia berjanji, akan membuat patung dengan cita rasa seni yang tinggi.

Bambang Irwanto

Subscribe to receive free email updates: