} Dongeng Anak - Ahmad dan Ijazi - Rumah Kurcaci Pos

Dongeng Anak - Ahmad dan Ijazi

Dongeng Anak - Ahmad adalah anak Wan Abud seorang saudagar yang kaya raya. Semasa mudanya, Wan Abud pergi ke berbagai negeri untuk berdagang guci dan piring keramik. Setelah menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu Ahamd dan Ijazi, Wan Abud memutuskan menetap di kota kelahirannya, kota Jiaran. Wan Abud ingin menghabiskan masa tuanya dengan tenang.

Dimuat di Majalah Bobo


Suatu hari Wan Abud memanggil Ahmad dan Ijazi.

“Anakku, sudah saatnya kalian mandiri. Abah akan memberi kalian uang. Gunakan uang itu sebaik-baiknya, untuk masa depan kalian,” kata Wan Abud.

Ahmad dan Ijazi senang sekali. mereka menerima sekantung uang emas.

“Aku akan membangun toko keramik. Jadi tidak perlu berjualan keramik keliling negeri” kata Ijazi. “Kalau kamu mau apa, Ahmad?”

“Saya akan pergi bersekolah di kota Arfiah, kak.”

Ijazi tertawa. “Buat apa kamu bersusah payah belajar? Kamu tinggal berdagang seperti Abah,” ujar Ijazi.

Ahmad hanya tersenyum.

Besoknya sebelum matahari terbit, Ahmad pamit pada Abah, Umi, dan Ijazi. Pak Tun, pembantu setia Wan Abud, mengantarkan Ahmad sampai ke ujung perbatasan kota. Selanjutnya Ahmad meneruskan perjalanannya sendiri menuju kota Arfiah.

Tidak terasa, 2 tahun sudah berlalu. Ahmad libur sekolah. Ia kembali ke kota Jiaran mengunjungi kedua orang tua dan kakaknya. Tuan Abud dan Umi Saadah menyambut dengan gembira.

“Mana, Kak Ijazi, Abah?” tanya Ahmad. Ia sangat rindu dengan kakak satu-satunya itu.
“Ia ada di toko keramiknya di pusat kota. Pergilah ke sana,” jawab Wan Abud.

Ahmad segera menuju pusat kota. Ia meminjam seekor kuda milik abahnya. Ahmad berhenti di sebuah toko Keramik di sudut kota.

Toko Keramik Ijazi, Ahmad membaca papan nama di depan toko, sebelum ia melangkah masuk ke toko. Ahmad melihat Ijazi sedang sibuk melayani pembeli. Ahmad menunggu sejenak, sambil melihat-lihat toko keramik kakaknya. Ahmad baru menghampiri Ijazi, Setelah kakaknya itu selesai melayani pembeli.

“Ahmad, adikku!”  Ijazi senang sekali dan langsung memeluk adiknya.

“Kak Ijazi hebat, sudah membuka toko keramik. Selamat ya, Kak!” puji Ahmad sambil menjabat erat tangan Ijazi.

“Benar kataku, kan. Kita tidak perlu menghabiskan uang banyak untuk bersekolah jauh. Dengan uang pemberian Abah, aku berhasil membuka toko keramik yang megah,” kata Ijazi bangga.

Ahmad hanya mengangguk. Namun sebenarnya ia tidak sependapat dengan kakaknya. Ia ke kota Arfiah menuntut ilmu untuk masa depannya juga. Namun ia tidak ingin berdebat.
Setelah seminggu di kota Jiaran, Ahmad kembali ke kota Arfiah. Ia harus meneruskan belajarnya 2 tahun lagi. Setelah itu dia baru lulus.

Waktu terus berlalu. Tidak terasa, 2 tahun telah berlalu. Ahmad berhasil menyelesaikan sekolahnya. Ahmad  dengan gembira pulang ke kota Jiaran.

Setelah melepas rindu dengan kedua orang tuanya, Ijazi bergegas menemui Ijazi di toko keramiknya.

Toko keramik Ijazih tetap ramai oleh pembeli. Koleksi guci dan piring keramiknya yang dijual semakin banyak.

“Wah.. toko kakak semakin berkembang pesat,” puji Ahmad.

“Begitulah, aku berhasil membuat toko keramik paling terkenal di seluruh kota Jiaran,” Ijazih tertawa bangga. “Kamu membawa apa dari kota Arfiah?”

“Lihat, Kak! Aku sudah lulus sekolah,” Ahmad memperlihatkan surat kelulusannya pada Ijazih.

Ijazih tertawa terbahak. “Sayang sekali. Bertahun-tahun kamu belajar, hasilnya hanya selembar surat kelulusan.”

Ahmad tersenyum.”Dengan ijazahku ini, aku akan mencari kerja di kota Arfiah, Kak!”
Dua hari kemudian, Ahmad kembali ke kota Arfiah. Ia segera diterima di sebuah perusahaan besar. Ahmad bekerja dengan giat.

Karena pekerjaannya kantornya sangat banyak, 6 bulan kemudian, Ahmad baru bisa menjenguk kedua orang tua dan kakaknya. Seperti biasa, Tuan Abud dan Umi Saadah gembira menyambut Ahmad.. Setelah itu, Ahmad menemui Ijazi di toko keramiknya.

Tapi Ahmad sangat heran. Toko keramik Ijazi sangat sepi. Tidak ada pembeli satupun . Tampak Ijazi duduk termenung di belakang meja kasir.

“Kenapa Kak Ijazi sedih?” tanya Ahmad.

“Toko keramikku sepi pembeli, Ahmad!”

Ahmad memperhatikan guci dan piring keramik yang dipajang di toko. Model dan motifnya masih seperti yang dulu.

“Ehm, seharusnya kakak mengubah model dan motifnya, agar orang tidak bosan,” saran Ahmad.

“Bagaimana caranya Ahmad? Aku kan tidak bisa membuat keramik?”

“Aku akan membantu kakak.”

Ahmad segera membuka tasnya. Ia mengeluarkan kertas dan alat menggambar. Dengan cepat, Ahmad membuat desain guci dan piring dengan aneka bentuk, motif dan warna.

“Wah, bagus sekali. Bukankah selama ini kamu tidak bisa mendesain keramik?”

“Kakak kan tidak pernah bertanya tentang sekolahku. Aku belajar di sekolah desain seni rupa. Sekarang pun, aku bekerja di perusahaan desain seni rupa paling terkenal di kota Arfiah.”

“Wah, kamu lebih hebat dariku. Ternyata ilmu itu jauh lebih berharga dari harta. Terima kasih, adikku,” Ijazi memeluk erat adiknya.

Berkat bantuan Ahmad, kini toko keramik Ijazi kembali banyak pembeli dan semakin terkenal sampai ke pelosok negeri.

Bambang Irwanto

Subscribe to receive free email updates: